Lubuk Beringin, dari Desa Sunyi Menuju Daerah Tujuan Wisata Bergengsi
Oleh: Jumardi Putra*
Bermula dari buku bertajuk Lubuk Beringin, dari Dusun Sunyi, Menuju Daerah Tujuan Wisata yang Bergengsi (Direktorat Bina Perutanan Sosial dan Kemitraan Patnership, 2013), saya teringat ziarah ekologisku beberapa tahun yang lalu, tepatnya di Dusun Buat dan Lubuk Beringin, Kecamatan Bathin III Ulu, sekira ± 50 km dari pusat kota Bungo-Jambi.
Sepanjang perjalanan menuju Dusun tersebut terbentang sawah nan-hijau dengan berjejer pohon kelapa menjulang tinggi di tepian sungai. Pun lapisan hutan campuran yang bila didekati terisi pepohonan karet rakyat dan pohon buah-buahan yang dikelola untuk kebutuhan jangka panjang dan sering tiba dalam musim yang berurutan, seperti durian (durio sp), duku (Lansium domesticum), bedaro atau lengkeng (Dimocarpus longan), cempedak (Artocarpus integer) serta manggis (Garcinia mangostana).
Ke atas lagi, latar belakangnya didominasi oleh topografi berbukit dengan ketinggian antara 900–1316 meter di atas permukaan laut, yang tertutup ranting-ranting pepohonan liar, yang keseluruhannya menahbiskan alam yang luar biasa indah, trekking yang menantang, aktivitas pertanian dengan sistem wanatani dan agroforestry, dan aktivitas bermain kanak-kanak yang unik, serta kohesi sosial yang terajut baik (hal.34).
Namun, kita juga sadar, hutan lebat dan lingkungan asri, yang berakar kuat pada tradisi tempatan, sebagaimana di Lubuk Beringin itu, kini, baik secara kuantitas maupun kualitas, untuk kita nikmati di beberapa daerah lainnya di Bumi Pucuk Jambi Sembilan Lurah terasa semakin sulit. Apa pasal? Perubahan yang dimulai bersama proses eksploitasi alam besar-besaran untuk biaya pembangunan pada awal tahun 90-an, yang dipicu oleh aktifitas pembalakan kawasan hutan dan pembukaan kawasan hutan menjadi areal Hutan Tanaman Industri (HTI).
Hal itu diperkuat melalui hasil kajian citra landsat yang dilakukan KKI-WARSI dan Birdlife, dalam kurun waktu sepuluh tahun dari 1990 sampai 2000, tercatat satu juta ha hutan Jambi hilang, dari 2,4 juta ha menjadi 1,4 juta ha. Di samping itu, banyak hutan alam yang perizinan definitifnya dikeluarkan untuk Hutan Tanaman Industri (HTI), tanpa sepengetahuan sejumlah pemangku kepentingan hutan.
Langkah Awal
Kembali ke buku yang saya sebut di awal, yang ditulis oleh Rakhmat Hidayat dan Yul Qori, memuat tiga pokok perkara utama, yakni riwayat dan teritori Lubuk Beringin, Perjalanan Panjang Menuju Pengakuan Hutan Desa, dan Ekowisata Hutan Desa.
Pokok-pokok pikiran di dalam buku tersebut, hemat saya, bertitimangsa pada geokulutral Dusun Lubuk Beringin dengan disertai langkah nyata warga, dengan dibantu beberapa lembaga swadaya masyarakat, yang dilumuri gagasan tentang pengelolaan sumber saya alam secara otonom dan berkelanjutan, yang dalam proses panjangnya membuahkan hasil, yakni Lubuk Beringin sebagai Hutan Desa yang pertama di Indonesia mempunyai kekuatan politik dan promosi sebagai bentuk pengelolaan sumberdaya hutan berbasiskan masyarakat. Tentu saja bentuk-bentuk seperti ini makin langka keberadaannya di Sumatera secara khusus dan Indonesia secara umumnya (hal. 30).
Namun, melalui catatan singkat ini, saya hanya menyoroti aspek Ekowisata Hutan Desa. Pilihan tersebut disertai beberapa pertimbangan, yang tentu terbuka terhadap perspektif lainnya, yaitu, pertama, banyak publikasi dan riset terkait dengan Lubuk Beringin yang diterbitkan oleh badan-badan riset nasional-internasional menitikberatkan pada manusia dan lingkungan, dan jarang, untuk menyebut tidak ada, tentang ekowisata hutan desa.
Kedua, pasca Gubernur Jambi mengeluarkan keputusan pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa kepada Kelompok Pengelola Hutan Desa (KPHD) Ndendang Hulu Sako–Batang Buat melalui SK No. 124 Tahun 2009, dimana pada akhirnya RKHD Dusun Lubuk Beringin disahkan pada tanggal 11 Maret 2011 dan menyusul beberapa bulan kemudian Bupati Kabupaten Bungo mengesahkan RTHD, kemudian gayung bersambut dengan munculnya putusan tentang hutan adat oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan perkara Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, serta terbitnya Undang-Undang Desa No. 6 tahun 2014 tentang Desa. Dalam kaitan deregulasi itu, aspek ekowisata hutan desa pun belum menjadi perhatian seksama.
Ketiga, provinsi Jambi hingga saat ini belum memiliki Rencana Induk Pengembangan (RIP) Pariwisata yang sebangun dan sejalan dengan potensi di seluruh wilayah Kabupaten/Kota. Itulah kenapa, pariwisata berbasis eco-tourism, agro-tourism, dan adventure-tourism di wilayah provinsi Jambitak jelas radarnya. Justru sebaliknya, bagi kepala daerah, membuka perizinan pendirian Mal, Hotel, dan atau bangunan sejenisnya, lebih prestesius dan dinilai dapat mengangkat harkat warga kota yang bercirikan maju dan terbuka, sehingga merasa sejajar dengan kota-kota tetangga.
Bertolak dari ketiga hal itu, hemat saya, gagasan ekowisata hutan desa di Lubuk Beringin, yang mulanya diperciki oleh warga kemudian disusun oleh kedua penulis di atas, tak lain adalah langkah awal menuju tujuan utama, yakni menjadikan aspek ekowisata hutan desa sebagai bagian inti dari pokok-pokok pikiran pembangunan Jambi di masa mendatang.
Ekowisata Hutan Desa
Pariwisata adalah komoditi utama non-migas yang dewasa ini menjadi trend dunia. Tak heran, bila wacana back to nature, to the indigenous terus memenuhi jagad promosi wisata dunia saat ini. Sementara modernisasi, kapitalisme, dan globalisasi akan memakan dirinya sendiri dan orang akan mencari sesuatu yang hilang, keunikan lokal!
Nah, Lubuk Beringin memiliki keunggulan yang dicirikan oleh abad kini. Ia tidak hanya kaya dengan atraksi seni dan budaya saja, namun juga keberadaan biodiversitynya, baik yang berada di kawasan agroforest atau pun di Hutan Desa.
Berdasarkan hasil kajian inventori partisipatif di dalam kawasan hutan lindung Rantau Bayur-Bukit Panjang terdapat 971 species pohon, seperti Tebalun, Maranti kalip, Meranti Bungo, Jelutung, Kulim, Abang Daun, Anak, Antoi Putih, Antoi Siamang, Antoi Siluang, Balam Punai, Balam Terung, Batu, Bendaan, Bengkawang, Bonai, Bumbung, Duat, dan lainnya.
Sedangkan untuk mamalia ditemukan 37 species, di antaranya Beruk (Macaca nemestrina), Cigak (Macaca fascicularis), Ungko (Hylobates agilis), Tupai Jenjang (Callosciurus notatus dan Callosciurus prevostii), Rusa (Cervus unicolor dan Mutiacus muntjak), Kancil (tragulus napu), Hystrix brachyura, Manis javanicus, Kukang (Nyctecibus coucang), Cynocephalus variengatus, Ursus malayanus, Tapir (Tapirus indicus), dananjing hutan (Cuon alpinus) (hal.33-35).
Tak pelak, potensi ekowisata tersebut menjadi salah satu icon bagi masyarakat Dusun Lubuk Beringin, yang hingga kini telah terbukti menunjukkan perkembangan pengelolaan ekowisata yang cukup signifikan, yaitu tidak hanya berorientasi pemenuhan kebutuhan lokal semata, namun dari berbagai wilayah di Indonesia pun telah mengunjungi Hutan Desa ini, bahkan dari manca negara (hal.ii).
Dengan begitu, pemikiran di kalangan masyarakat Dusun Lubuk Beringin agar hutan desa ini benar-benar mampu memberikan manfaat langsung secara ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan hasil hutan adalah pilihan yang beralasan sekaligus mengkonfirmasi bahwa ekowisata yang fungsi sebagai pemecah gelombang perseteruan antara konservasi dan ekonomi berjalan sebagaimana mestinya.
Akhirnya, penting dicatat, pelaksanaan ekowisata hutan desa meniscayakan perencanaan dan persiapan matang dan hati-hati, agar tidak mendatangkan kerugian di kemudian hari, sebagaimana pola pembangunan saat ini yang semakin memacu material dan menyuburkan pola produksi dan konsumsi yang aksesif. Yang berarti, semakin kekayaan alam dieksploitasi, semakin rakus dan tamak manusia, maka semakin hancur lingkungan hidup.
*Penulis adalah pecinta buku dan kesenian. Kini tinggal dan bekerja di Jambi.